Jumat, 02 November 2012

Penggunaan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar


Kita sering mendengar dan membaca semboyan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar”. Makna semboyan itu sering pula diartikan bahwa kita harus berbahasa baku atau kita harus menghindarkan pemakaian bahasa non baku. Bahasa baku sama maknanya dengan bahasa yang baik dan benar. Hal ini terjadi karena konsep di dalam semboyan iitu sangat kabur. Konsep yang benar atau semboyan yang benar adalah “Pergunakanlah Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku dengan Baik dan Benar”.

Harimurti Kridalaksana memperjelas bahwa adanya bahasa baku atau bahasa standar dan bahasa nonbaku atau bahasa nonstandar bukan berarti bahwa bahasa baku atau bahasa standar lebih baik, lebih benar atau lebih betul daripada bahasa non baku atau bahasa nonstandar. Bukan disitu permasalahannya. Kita memakai bahasa secara betul atau baik bila kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsinya. Demikian juga, kita mempergunakan bahasa secara betul atau baik bila kita mempergunakan bahasa nonbaku atau bahasa nonstandar sesuai dengan fungsinya. Kita menggunakan bahasa secara salah atau tidak benar bila kita menggunakan bahasa standar untuk fungsi bahasa nonstandar. Oleh karena itu, memakai bahasa baku tidak dengan sendirinya berarti memakai bahasa yang baik dan benar. Bahasa baku tidak sama dengan bahasa yang baik dan benar (1981 : 19).

Berikut contoh Penggunaan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar:

1.   Mata uang, lambang satuan ukuran, takaran, dan timbangan:
Kita sering terjebak dengan dugaan bahwa setiap singkatan itu di belakangnya diletakkan tanda baca titik. Dugaan itu tidaklah selalu benar, karena tidak semua singkatan ditempatkan titik pada akhirnya.  Singkatan -singkatan   yang menunjukkan  lambang kimia, satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang   tidak perlu diberi tanda titik .  Untuk lebih jelas, perhatikan singkatan-singkatan di bawah ini.

  • Rp (tanpa titik di belakang huruf “p”),  bukan Rp. ; 
  • US$ 30.50 (tanpa titik di belakang huruf “$”),  bukan US$.  30.50 ; 
  • Y 100 (tanpa titik di belakang huruf “Y”), bukan Y.  100 ; 
  • cm (tanpa titik di belakang huruf  “m” ), bukan cm.   ;  
  • km (tanpa titik di belakang huruf “m”), bukan km.   ; 
  • kg (tanpa titik di belakang huruf “g”), bukan kg.  ; 
  • l (leter,  tanpa titik di belakang huruf “l”),bukan l
Dalam putusan pengadilan, penulisan nilai uang berupa singkatan rupiah (Rp) seringkali ditulis menyimpang dari pedoman umum bahasa Indonesia. Kebanyakan Panitera Pengganti menulis nya  dengan    “  Rp.”, menggunakan titik  dibelakang  huruf “p”. Misalnya, “Menghukum  Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar  Rp. 149.500,-  (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)”. Seharusnya,   ditulis,  “Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar  Rp 149.500,00  atau Rp 149.500  (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)”,   tanpa menempatkan titik dibelakang huruf “p”. 

Kekeliruan selanjutnya, Panitera Pengganti sering pula  menulis keliru ketika melambangkan bilangan dengan angka dan huruf, “….. Rp 149.500 (Seratus  empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah rupiah)”  dengan cara menulis huruf  “S” dalam bentuk huruf kapital, padahal  seharusnya “(seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) , huruf  ”s” ditulis dengan huruf kecil

2.   Penulisan angka dalam kalimat:
Penulisan angka dalam kalimat ada yang dipisah dengan titik dan ada yang tidak dipisah dengan titik. Di bawah ini ada empat macam contoh cara penulisan angka tersebut.

1.  Angka yang menunjukkan suatu jumlah.
Contoh :
“Bahwa berdasarkan keterangan saksi  Tergugat tersebut, luas obyek sengketa  yang termasuk  lahan  perumahan adalah 100.234 m, bukan 153. 05 m sebagaimana yang disebutkan Penggugat  ”.

Pada contoh di atas bilangan ribuan, jutaan, dan seterusnya dipisah dengan tanda baca  “titik”. Penulisan tanda baca  “titik”  itu menunjukkan bahwa angka-angka itu bermakna bilangan  dalam jumlah tertentu. Selain itu,  pada  contoh di atas,  ada pula lambang huruf “m” tanpa titik setelah angka. Lambang tersebut dijabarkan dengan lafal  “meter”  ketika membacanya. Tidak dibenarkan dalam pengucapannya dibaca 100.234  em, tetapi harus dibaca 100.234 meter. Hal serupa, misalnya, dalam penulisan “cos”, yang harus dibaca  “kosinus”, “sin” yang di baca “sinus”, “km”,  harus  dibaca kilometer, dll.

2.  Angka yang menunjukkan waktu.  
Contoh  :  
“Peristiwa  penganiayaan  itu dilakukan tergugat sejak hari Kamis, tanggal 10 Januari 2007,    pukul 12.35.10  wita hingga pukul 13.00 wita secara terus menerus .  ( harus dibaca : pukul 12 lewat 35 menit dan 10 detik  hingga pukul 13 wita ).

3.  Angka yang menunjukkan jangka waktu .
Contoh :
“Berdasarkan keterangan saksi Penggugat, peristiwa penganiayaan Tergugat  terhadap Penggugat  berlangsung  terus menerus  selama 2.30.20 jam”. ( harus dibaca : 2 jam, 30 menit,  dan 20 detik);

4.  Angka yang tidak menunjukkan suatu jumlah.
Contoh  :
“Bahwa, benar Pemohon dan Termohon melangsungkan pernikahan mereka pada tahun  1955  di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan  Agama  Kecamatan Banjarmasin Utara,”  kata saksi.

“Bahwa, HP  yang digunakan   Tergugat  ketika berkomunikasi dengan saya, Penggugat,   pada tanggal 4 Januari 2007 itu bernomor 085212267215,” jelas Penggugat . 

Angka  1955  dan  085212267215, tidak  perlu  ditulis dengan menggunakan tanda baca “titik” di belakang ribuan, jutaan, dst., karena angka-angka tersebut tidak menunjukkan suatu jumlah tertentu.

Pada kalimat tersebut di atas, kata “HP” ditulis tidak menggunakan “titik” di belakang huruf “P”,  karena “HP” merupakan singkatan dua kata yang masing -masing diambil huruf awalnya dan bukan pula singkatan gelar akademik, jabatan, pangkat, dan sapaan.

Untuk memperjelas  penulisan  titik pada angka, bedakan antara kalimat, “Percekcokan itu terjadi sejak  tahun   2007  ” dengan  kalimat “Sudah  2.007  tahun yang lalu nama besarnya telah tercatat dalam sejarah  peradaban manusia”.

3.   Singkatan gelar akademik:
1.  Singkatan gelar akademik yang terdiri dari dua  atau lebih  huruf kapital, masing-masing huruf sebagai singkatan awal kata, maka untuk menulis gelar-gelar akademik ini, di   belakang setiap huruf kapital  diletakkan tanda baca “titik”.  Misalnya, S.H. (bukan SH.);  M.A. (bukan MA.),    S.E. (bukan SE.);M.B.A. (bukan MBA);  M.H. (bukan MH),  M.H.I. (bukan MHI), S.Pd.I (Sarjana Pendidikan  Islam, bukan S.Pdi.),  dll.  Bedakan dengan gelar DR., sekalipun terdiri  dari dua huruf kapital, namun DR. hanya singkatan dari satu kata, yaitu Doktor.

Contoh :
Demikianlah   diputuskan dalam sidang permusyawaratan majelis pada hari Kamis, tanggal 17 Janua ri 2008 oleh  Ahmad,S.H., M.H., Ketua Majelis…….   

Di antara dua gelar S.H. dan M.H. harus dipisah dengan tanda baca “koma” .

2. Singkatan gelar akademik yang terdiri dari huruf  kapital yang bersambung dengan  huruf kecil, tanda baca “titik” ditempatkan di belakang huruf kecil. Misalnya,  Drs.,  Ir.,  Dr.,    Prof.  Keempat contoh  gelar tersebut  di atas  merupakan singkatan  dari satu kata. Contoh lain, M.Sc. dan  S.Ag.  Gelar-gelar akademik tersebut  adalah singkatan dari dua  kata, master dan science serta singkatan  dari sarjana dan agama.

4.   Akronim yang sudah diterima masyarakat sebagai kata wajar:
Akronim atau kependekan yang terdiri dari gabungan beberapa huruf atau kata. Apabila  kependekan itu  telah diterima masyarakat  sebagai kata wajar, tidak diperlukan penggunaan  tanda baca “titik”  di antara singkatan huruf atau kata aslinya. Misalnya,  MARI,  ABRI, MPR, DPR, PN, PA, PT, PTA,  BAP,  SD, SMA, UUD, UU, Depag, ormas, radar (radio detecting and ranging), tilang (bukti pelanggaran), Mayjen, dll.

Contoh :
Pengadilan Agama Kelas I A Banjarmasin,  yang  memeriksa dan mengadili  pada tingkat pertama, dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut  dalam perkara  perdata harta bersama antara :

AGUS HARIYADI bin WAKIDI, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan  Pegawai Negeri Sipil (PNS)  pada Kantor …, bertempat tinggal di  Jalan  Sultan Adam  82,  RT  06,  RW  02, Kelurahan Sambutan Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,  Provinsi  Kalimantan Selatan, selanjutnya disebut Pemohon  Konvensi/ Tergugat Rekonvensi; 

Pada kalimat di atas dalam penulisan “agama Islam”, keliru apabila ditulis “Agama Islam”. Bedakan antara kalimat “Ia memeluk Agama  Islam” dengan kalimat “Islam adalah  agama  yang dipeluknya”. Jalan ditulis dengan huruf kapital pada awal kata, apabila disambung dengan nama jalan tersebut. Bedakan antara kalimat “Ia tinggal di Jalan  Sultan Adam” dengan kalimat “Sultan Adam ialah nama  jalan  di Kota Banjarmasin”.  Antara kata  Jalan Sultan Adam   dengan nomor rumah  seharusnya  tidak dipisah dengan tanda baca “koma”.Penulisan “RT”   dan “RW”  tidak diberi tanda baca titik .   Akan tetapi, tanda baca  koma dipakai  di  antara nama  dengan  alamat dan bagian-bagian alamat.

Pada kalimat di atas ada kata  provinsi, penulisannya sama dengan penulisan kata  konvensi, dan  rekonvensi   dengan menggunakan  huruf “v”, bukan “p”. Dalam ketentuan bahasa Indonesia, unsur serapan diucapkan dan ditulis sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, namun ejaan bahasa asing hanya diubah seperlunya, sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan  bentuk aslinya.  Dalam hal penulisan huruf “v” pada bahasa asing tetap dituis dengan huruf “v” dalam bahasa Indonesia.

Contoh, vitamin (asalnya vitamin), televisi (asalnya television), kavaleri (asalnya cavalry), provensi (asalnya proventie), konvensi (asalnya conventie), rekonvensi (asalnya reconventie ), konviksi (asalnya convictie  (pembuktian yang menyakinkan), provisionel (asalnya provisionele), verstek (asalnya verstek), verzet (asalnya verzet), dll.

5.   Nama hari, bulan, tahun, dan wilayah pemerintahan:
Mungkin karena tidak pernah disadari atau terpengaruh dengan bermacam-ragam penyebutan nama hari dan nama bulan masehi serta nama bulan hijriah yang tertera pada kalender  yang sangat akrab di sekitar kita, kita menjadi bingung, mana yang benar dan tepat untuk dikuti.

Demikian pula penulisan nama wilayah pemerintahan pada tingkat provinsi.Ada yang menulis “propinsi” dan ada pula yang menulis “provinsi”. Berikut di bawah ini nama-nama hari, bulan, dan wilayah pemerintahan yang sering ditulis keliru.

1.    Senin (bukan Isnain);
2.    Rabu (bukan Rebo atau Rebu);
3.    Kamis (bukan Kemis);
4.    Jumat (bukan Jum’at)
5.    Februari (bukan Pebruari),
6.    November (bukan Nopember),
7.    Muharam (bukan Muharram),
8.    Safar (bukan Shafar); 
9.    Rabiulawal (bukan Rabi’ul Awwal  /  Rabi’ul Ula);
10. Rabiulakhir (bukan Rabi’ul Akhir  /  Rabu’ul  Tsani);
11. Jumadilawal (bukan Jumadil Awwal  /  Jamadil Awwal);
12. Jumadilakhir (bukan Jumadil Akhir  /   Jamadil Akhir )
13. Syakban (bukan Sya’ban);
14. Ramadan (bukan Ramadhan);
15. Syawal (bukan Syawwal);
16. Zulkaidah (bukan Dzul Qa’dah  /Dzul Qaedah);
17. Zulhijah (bukan Dzul Hijjah);
18. Masehi (bukan Masihi);
19. Hijriah (bukan Hijriyyah)
20. Provinsi (bukan propinsi) .

Apabila  kata-kata  serapan  tersebut  memang dikehendaki penulisannya dalam bentuk aslinya, ketentuan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” menyebutkan,   harus  dicetak miring. Misalnya, “Demikianlah putusan ini dijatuhkan dalam permusyaratan majelis pada hari Kamis, tanggal 19 September 2008 Masehi  bertepatan dengan tanggal 19   Ramadhan   1429 Hijriah . ”    atau   ditulis, “ ….. bertepatan dengan tanggal 19 Ramadan 1429 Hijriah.” 

Apabila tahun hijriah dan tahun masehi ditulis dengan singkatan, bentuk penulisannya adalah, “….. 19 September 2008 M bertepatan dengan tanggal 19 Ramadan 1429 H”. Singkatan  “M” dari Masehi   dan  “ H” dari Hijriah. Keduanya  ditulis tanpa titik  sesudahnya, kecuali di akhir kalimat.

5 komentar:

  1. thanks,,sangat bermanfaat dan menambah wawasan

    BalasHapus
  2. Kalau 500 gram singkatannya 500g atau 500 g ?

    BalasHapus
  3. Maaf boleh saran. Sumber referensi tdak ada? Mohon ditambah supaya lebih mantaaap.. Terimakasih

    BalasHapus