Kita sering mendengar
dan membaca semboyan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar”.
Makna semboyan itu sering pula diartikan bahwa kita harus berbahasa baku atau
kita harus menghindarkan pemakaian bahasa non baku. Bahasa baku sama maknanya
dengan bahasa yang baik dan benar. Hal ini terjadi karena konsep di dalam
semboyan iitu sangat kabur. Konsep yang benar atau semboyan yang benar adalah
“Pergunakanlah Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku dengan Baik dan Benar”.
Harimurti Kridalaksana
memperjelas bahwa adanya bahasa baku atau bahasa standar dan bahasa nonbaku
atau bahasa nonstandar bukan berarti bahwa bahasa baku atau bahasa standar lebih
baik, lebih benar atau lebih betul daripada bahasa non baku atau bahasa
nonstandar. Bukan disitu permasalahannya. Kita memakai bahasa secara betul atau
baik bila kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsinya. Demikian juga,
kita mempergunakan bahasa secara betul atau baik bila kita mempergunakan bahasa
nonbaku atau bahasa nonstandar sesuai dengan fungsinya. Kita menggunakan bahasa
secara salah atau tidak benar bila kita menggunakan bahasa standar untuk fungsi
bahasa nonstandar. Oleh karena itu, memakai bahasa baku tidak dengan sendirinya
berarti memakai bahasa yang baik dan benar. Bahasa baku tidak sama dengan
bahasa yang baik dan benar (1981 : 19).
Berikut contoh
Penggunaan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar:
1.
Mata uang, lambang
satuan ukuran, takaran, dan timbangan:
Kita sering terjebak
dengan dugaan bahwa setiap singkatan itu di belakangnya diletakkan tanda baca
titik. Dugaan itu tidaklah selalu benar, karena tidak semua singkatan
ditempatkan titik pada akhirnya.
Singkatan -singkatan yang
menunjukkan lambang kimia, satuan
ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang
tidak perlu diberi tanda titik .
Untuk lebih jelas, perhatikan singkatan-singkatan di bawah ini.
- Rp (tanpa titik di belakang huruf “p”), bukan Rp. ;
- US$ 30.50 (tanpa titik di belakang huruf “$”), bukan US$. 30.50 ;
- Y 100 (tanpa titik di belakang huruf “Y”), bukan Y. 100 ;
- cm (tanpa titik di belakang huruf “m” ), bukan cm. ;
- km (tanpa titik di belakang huruf “m”), bukan km. ;
- kg (tanpa titik di belakang huruf “g”), bukan kg. ;
- l (leter, tanpa titik di belakang huruf “l”),bukan l
Dalam putusan
pengadilan, penulisan nilai uang berupa singkatan rupiah (Rp) seringkali
ditulis menyimpang dari pedoman umum bahasa Indonesia. Kebanyakan Panitera
Pengganti menulis nya dengan “
Rp.”, menggunakan titik
dibelakang huruf “p”. Misalnya,
“Menghukum Penggugat untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp. 149.500,- (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus
rupiah)”. Seharusnya, ditulis, “Menghukum Penggugat untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp 149.500,00 atau Rp 149.500 (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus
rupiah)”, tanpa menempatkan titik
dibelakang huruf “p”.
Kekeliruan
selanjutnya, Panitera Pengganti sering pula
menulis keliru ketika melambangkan bilangan dengan angka dan huruf, “…..
Rp 149.500 (Seratus empat puluh sembilan
ribu lima ratus rupiah rupiah)” dengan
cara menulis huruf “S” dalam bentuk
huruf kapital, padahal seharusnya
“(seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) , huruf ”s” ditulis dengan huruf kecil
2.
Penulisan angka dalam
kalimat:
Penulisan angka dalam
kalimat ada yang dipisah dengan titik dan ada yang tidak dipisah dengan titik.
Di bawah ini ada empat macam contoh cara penulisan angka tersebut.
1. Angka yang menunjukkan
suatu jumlah.
Contoh :
“Bahwa berdasarkan
keterangan saksi Tergugat tersebut, luas
obyek sengketa yang termasuk lahan
perumahan adalah 100.234 m, bukan 153. 05 m sebagaimana yang disebutkan
Penggugat ”.
Pada contoh di atas
bilangan ribuan, jutaan, dan seterusnya dipisah dengan tanda baca “titik”. Penulisan tanda baca “titik”
itu menunjukkan bahwa angka-angka itu bermakna bilangan dalam jumlah tertentu. Selain itu, pada
contoh di atas, ada pula lambang huruf
“m” tanpa titik setelah angka. Lambang tersebut dijabarkan dengan lafal “meter”
ketika membacanya. Tidak dibenarkan dalam pengucapannya dibaca
100.234 em, tetapi harus dibaca 100.234 meter.
Hal serupa, misalnya, dalam penulisan “cos”, yang harus dibaca “kosinus”, “sin” yang di baca “sinus”,
“km”, harus dibaca kilometer, dll.
2. Angka yang menunjukkan
waktu.
Contoh :
“Peristiwa penganiayaan
itu dilakukan tergugat sejak hari Kamis, tanggal 10 Januari 2007, pukul 12.35.10 wita hingga pukul 13.00 wita secara terus
menerus . ( harus dibaca : pukul 12
lewat 35 menit dan 10 detik hingga pukul
13 wita ).
3. Angka yang menunjukkan
jangka waktu .
Contoh :
“Berdasarkan keterangan
saksi Penggugat, peristiwa penganiayaan Tergugat terhadap Penggugat berlangsung
terus menerus selama 2.30.20
jam”. ( harus dibaca : 2 jam, 30 menit,
dan 20 detik);
4. Angka yang tidak
menunjukkan suatu jumlah.
Contoh :
“Bahwa, benar Pemohon
dan Termohon melangsungkan pernikahan mereka pada tahun 1955
di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Banjarmasin Utara,”
kata saksi.
“Bahwa, HP yang digunakan Tergugat
ketika berkomunikasi dengan saya, Penggugat, pada tanggal 4 Januari 2007 itu bernomor 085212267215,”
jelas Penggugat .
Angka 1955
dan 085212267215, tidak perlu
ditulis dengan menggunakan tanda baca “titik” di belakang ribuan, jutaan,
dst., karena angka-angka tersebut tidak menunjukkan suatu jumlah tertentu.
Pada kalimat tersebut
di atas, kata “HP” ditulis tidak menggunakan “titik” di belakang huruf
“P”, karena “HP” merupakan singkatan dua
kata yang masing -masing diambil huruf awalnya dan bukan pula singkatan gelar
akademik, jabatan, pangkat, dan sapaan.
Untuk memperjelas penulisan
titik pada angka, bedakan antara kalimat, “Percekcokan itu terjadi
sejak tahun 2007
” dengan kalimat “Sudah 2.007
tahun yang lalu nama besarnya telah tercatat dalam sejarah peradaban manusia”.
3.
Singkatan gelar
akademik:
1. Singkatan gelar
akademik yang terdiri dari dua atau
lebih huruf kapital, masing-masing huruf
sebagai singkatan awal kata, maka untuk menulis gelar-gelar akademik ini, di belakang setiap huruf kapital diletakkan tanda baca “titik”. Misalnya, S.H. (bukan SH.); M.A. (bukan MA.), S.E. (bukan SE.);M.B.A. (bukan MBA); M.H. (bukan MH), M.H.I. (bukan MHI), S.Pd.I (Sarjana
Pendidikan Islam, bukan S.Pdi.), dll.
Bedakan dengan gelar DR., sekalipun terdiri dari dua huruf kapital, namun DR. hanya
singkatan dari satu kata, yaitu Doktor.
Contoh :
Demikianlah
diputuskan dalam sidang permusyawaratan majelis pada hari Kamis, tanggal
17 Janua ri 2008 oleh Ahmad,S.H., M.H.,
Ketua Majelis…….
Di antara dua gelar S.H. dan M.H. harus
dipisah dengan tanda baca “koma” .
2. Singkatan gelar
akademik yang terdiri dari huruf kapital
yang bersambung dengan huruf kecil,
tanda baca “titik” ditempatkan di belakang huruf kecil. Misalnya, Drs.,
Ir., Dr., Prof.
Keempat contoh gelar
tersebut di atas merupakan singkatan dari satu kata. Contoh lain, M.Sc. dan S.Ag.
Gelar-gelar akademik tersebut
adalah singkatan dari dua kata,
master dan science serta singkatan dari
sarjana dan agama.
4.
Akronim yang sudah
diterima masyarakat sebagai kata wajar:
Akronim atau kependekan
yang terdiri dari gabungan beberapa huruf atau kata. Apabila kependekan itu telah diterima masyarakat sebagai kata wajar, tidak diperlukan
penggunaan tanda baca “titik” di antara singkatan huruf atau kata aslinya.
Misalnya, MARI, ABRI, MPR, DPR, PN, PA, PT, PTA, BAP,
SD, SMA, UUD, UU, Depag, ormas, radar (radio detecting and ranging),
tilang (bukti pelanggaran), Mayjen, dll.
Contoh :
Pengadilan Agama Kelas
I A Banjarmasin, yang memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama, dalam persidangan
majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara
perdata harta bersama antara :
AGUS HARIYADI bin WAKIDI, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor …, bertempat tinggal di Jalan Sultan Adam 82, RT 06, RW 02, Kelurahan Sambutan Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, selanjutnya disebut Pemohon Konvensi/ Tergugat Rekonvensi;
Pada kalimat di atas
dalam penulisan “agama Islam”, keliru apabila ditulis “Agama Islam”. Bedakan
antara kalimat “Ia memeluk Agama Islam”
dengan kalimat “Islam adalah agama yang dipeluknya”. Jalan ditulis dengan huruf
kapital pada awal kata, apabila disambung dengan nama jalan tersebut. Bedakan
antara kalimat “Ia tinggal di Jalan
Sultan Adam” dengan kalimat “Sultan Adam ialah nama jalan
di Kota Banjarmasin”. Antara
kata Jalan Sultan Adam dengan nomor rumah seharusnya
tidak dipisah dengan tanda baca “koma”.Penulisan “RT” dan “RW”
tidak diberi tanda baca titik .
Akan tetapi, tanda baca koma
dipakai di antara nama
dengan alamat dan bagian-bagian
alamat.
Pada kalimat di atas
ada kata provinsi, penulisannya sama dengan
penulisan kata konvensi, dan rekonvensi
dengan menggunakan huruf “v”, bukan
“p”. Dalam ketentuan bahasa Indonesia, unsur serapan diucapkan dan ditulis
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, namun ejaan bahasa asing hanya diubah seperlunya,
sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk aslinya. Dalam hal penulisan huruf “v” pada bahasa asing
tetap dituis dengan huruf “v” dalam bahasa Indonesia.
Contoh, vitamin
(asalnya vitamin), televisi (asalnya television), kavaleri (asalnya cavalry),
provensi (asalnya proventie), konvensi (asalnya conventie), rekonvensi (asalnya
reconventie ), konviksi (asalnya convictie
(pembuktian yang menyakinkan), provisionel (asalnya provisionele),
verstek (asalnya verstek), verzet (asalnya verzet), dll.
5.
Nama hari, bulan,
tahun, dan wilayah pemerintahan:
Mungkin karena tidak
pernah disadari atau terpengaruh dengan bermacam-ragam penyebutan nama hari dan
nama bulan masehi serta nama bulan hijriah yang tertera pada kalender yang sangat akrab di sekitar kita, kita
menjadi bingung, mana yang benar dan tepat untuk dikuti.
Demikian pula
penulisan nama wilayah pemerintahan pada tingkat provinsi.Ada yang menulis
“propinsi” dan ada pula yang menulis “provinsi”. Berikut di bawah ini nama-nama
hari, bulan, dan wilayah pemerintahan yang sering ditulis keliru.
1. Senin (bukan Isnain);
2. Rabu (bukan Rebo atau
Rebu);
3. Kamis (bukan Kemis);
4. Jumat (bukan Jum’at)
5. Februari (bukan
Pebruari),
6. November (bukan
Nopember),
7. Muharam (bukan
Muharram),
8. Safar (bukan
Shafar);
9. Rabiulawal (bukan
Rabi’ul Awwal / Rabi’ul Ula);
10. Rabiulakhir (bukan Rabi’ul
Akhir /
Rabu’ul Tsani);
11. Jumadilawal (bukan
Jumadil Awwal / Jamadil Awwal);
12. Jumadilakhir (bukan
Jumadil Akhir / Jamadil Akhir )
13. Syakban (bukan
Sya’ban);
14. Ramadan (bukan
Ramadhan);
15. Syawal (bukan
Syawwal);
16. Zulkaidah (bukan Dzul
Qa’dah /Dzul Qaedah);
17. Zulhijah (bukan Dzul
Hijjah);
18. Masehi (bukan Masihi);
19. Hijriah (bukan
Hijriyyah)
20. Provinsi (bukan
propinsi) .
Apabila kata-kata
serapan tersebut memang dikehendaki penulisannya dalam bentuk
aslinya, ketentuan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”
menyebutkan, harus dicetak miring. Misalnya, “Demikianlah putusan
ini dijatuhkan dalam permusyaratan majelis pada hari Kamis, tanggal 19 September
2008 Masehi bertepatan dengan tanggal
19 Ramadhan 1429 Hijriah . ” atau
ditulis, “ ….. bertepatan dengan tanggal 19 Ramadan 1429 Hijriah.”
Apabila tahun hijriah dan tahun masehi ditulis dengan
singkatan, bentuk penulisannya adalah, “….. 19 September 2008 M bertepatan
dengan tanggal 19 Ramadan 1429 H”. Singkatan
“M” dari Masehi dan “ H” dari Hijriah. Keduanya ditulis tanpa titik sesudahnya, kecuali di akhir kalimat.
thanks,,sangat bermanfaat dan menambah wawasan
BalasHapusSangat membantu sekali
BalasHapusmatur suwun
BalasHapusKalau 500 gram singkatannya 500g atau 500 g ?
BalasHapusMaaf boleh saran. Sumber referensi tdak ada? Mohon ditambah supaya lebih mantaaap.. Terimakasih
BalasHapus